Kliping Reader’s Digest Desember 2010 Part 1

Saya masih menyimpan beberapa sumber bacaan favorit. Beberapa di antaranya adalah majalah Intisari dan Reader’s Digest.

Waktu itu hari Sabtu jam 5 sore, pikiran sedang ruwet karena berbagai urusan, salah satunya adalah karena masih jomblo. Hihihihi… Mampirlah saya ke toko buku favorit saya, Gramedia Mall Cijantung, Jakarta Timur.

Naluri seni saya mendorong untuk mengabadikan bagian bagian yang —secara visual— sedap dipandang mata, tidak lekang oleh waktu. Sangat sayang jika bagian bagian itu hilang menguap tanpa berkesan apa apa.

Seperti biasa, saya mau me-review desainnya.

Halaman setelah cover depan Reader’s Digest, Desember 2010. Sumber: arsip pribadi

Desain halaman setelah cover depan ini menawan sekali. Lay-out nya sederhana, tidak menjejalkan terlalu banyak teks. Pemilihan font-nya tepat, perpaduan font klasik (kursif) dan elegan (tanpa kursif), masuk untuk rentang usia pembaca yang luas.

Kemudian gambar kucingnya sangat imut, lucu membikin gemes gregetan. Dia kan binatang yang ‘semau gue’ kalau soal tidur. Posisi bagaimana pun, tetap saja ganteng.

Pilihan warna background-nya senada dengan tumpukan pakaian yang ditiduri si ‘kocheng’. Bisa juga ada kesengajaan pilih pilih warna pakaian sebelum pemotretan agar sesuai dengan warna tema si majalah. Itu sih urusan nomer sekian.

Halaman 1. Sumber: arsip pribadi.

Lanjut ke halaman 1. Tampak seorang pelajar yang sedang asyik membaca buku di taman dengan posisi rebahan. Aduh, enak sekali. Di masa pandemi ini orang menyebutnya ‘gabut’, gaji buta karena tak bekerja, rebahan di rumah sampai pegal pegal, tapi tetap dapat duit dari perusahaan.

Latarnya bagus, di atas rumput taman, kepala menyender ke pohon. Di kanan si pemuda ada gerbang kokoh dan megah dengan warna alami dari bata merah. Pengambilan foto tampaknya dilakukan sebelum tengah hari. Kalau di Indonesia, mungkin sekitar jam 9 pagi.

Pindah review ke bagian lay-out daftar isi majalah. Pemilihan font-nya tepat dan bagus. Nomor halaman dengan judul artikel memakai font yang berbeda. Beda pula ketebalan dan warnanya. Gaya ini khas Eropa dan Amerika. Di Indonesia, media cetak kebanyakan memakai Times New Roman atau font yang mirip-mirip.

Halaman 5. Sumber: arsip pribadi.

Lanjut review segmen ‘Editor’s Letter“. Ahh, konsepnya favorit saya banget. Judul segmen pakai huruf yang ukurannya signifikan dari ukuran font isi artikel, kira-kira 10 lipat. Si desainer cukup berani dan punya selera jenaka.

Sebelum judul segmen, ada ikon surat yang bertipe kartun. Warna kuning mengandung unsur fun, kondisi pikiran yang sedang gembira. Di tempatkan di segmen awal adalah hal yang baik untuk memulai kegiatan dengan suasana ceria.

Kemudian ke bagian artikel. Ada elemen ‘drop cap‘, yaitu huruf awal kalimat di bagian paragraf pertama artikel yang sengaja dibuat dengan ukuran yang drastis. Soal ketebalan huruf yang dibuat ‘drop cap‘ tidak ada aturan baku. Tapi pemilihan hurufnya yang berbeda dari artikel, itu kreatif.

Warna merah itu menunjukkan emosi yang meninggi. Coba perhatikan kalimatnya, “You know Dora, I think that of all us have lessons we refuse to learn.” Ini kalimat penegasan tapi tetap terkontrol, tidak over. Pilhan warna merah cukup tepat. Sinkron juga dengan warna kuning ikon amplop sebelum judul segmen tadi.

Terakhir, bagian penutup artikel segmen tersebut adalah info singkat profil sang editor, Dora Cheok. Ada penyebutan jabatannya di majalah tersebut, kemudian dicantumkan pula email beliau. Bagian ini penting karena menunjang branding majalah tersebut.

Setelah pembaca melahap dari paragraf awal sampai akhir, ternyata isi artikelnya nikmat dan berkualitas. Tentu pembaca ingin tahu nama penulisnya. Setelah tahu pasti memberi kesan yang positif dan menambah penasaran untuk membuka halaman selanjutnya.

Segini dulu review saya di kesempatan ini. Silahkan baca review saya tentang majalah ini di artikel selanjutnya. Tetap semangat!

Salam literasi Indonesia.