Maret 2020 ini bulan yang menyeramkan karena dunia, khususnya Indonesia dalam kondisi darurat Covid-19 atau singkatnya Corona. Apalagi yang tinggal atau bekerja di DKI Jakarta, hidup rasanya seperti film horor. Di status Whatsapp saya menyebut kondisi ini dengan ‘Resident Evil the Series: Covid-19 (Reality Version). Gokil!
Lima hari dalam meminggu saya mesti berangkat kerja menggunakan Commuter Line/KRL arah jalur Bogor-Jakarta Kota. Hati ini ketar- ketir khawatir terpapar virus jahannam Covid-19/Corona. Sakit parnonya, tanggal 16 Maret lalu saya gunakan APD (alat pelindung diri) lebih dari standar biasa. Saya pakai sarung tangan. Dianggap lebay tak saya gubris, yang penting lebih aman buat saya.
Rasa panik mulai muncul di Stasiun Pasar Minggu. Hidung saya terasa perih menandakan awal gejala flu. Fokus saya hanya kesitu saja. Sampai di Stasiun Juanda saya langsung meminta pemeriksaan tim kesehatan. Alhamdulillaah hasilnya negatif. Tapi hati saya masih ragu karena petugas kesehatan stasiun tidak dilengkapi dengan alat medis yang memadai.
Saya hanya ditanya “…batuk-pilek atau tidak?”, “…sesak napas atau tidak?” Ok-lah, saya masih maklum. Lagi-lagi ada hal yang membuat saya khawatir. Ada wanita muda berjilbab, usia sekitar 32 tahun terbaring lemas di ranjang sebelah kiri saya. Wajahnya pucat dan menahan kesakitan. “Jangan-jangan dia terpapar corona. Aduh ya Allaah, jangan sampai dia menularkan lagi ke saya”.
Saya lanjutkan perjalanan ke tempat kerja. Lokasinya hanya sekitar 500 m dari stasiun Juanda. Masih ada waktu 15 menit sebelum memulai pekerjaan. Lagi-lagi penyakit lama muncul, tenggorokan gatal sehingga sulit menahan diri untuk batuk. Saya terus memberi sugesti yang baik bahwa saya sudah dinyatakan negatif oleh petugas kesehatan stasiun.
Kamis 19 Maret, saya benar-benar kena flu dan bersin kecil di jam kerja sekitar pukul 10 pagi dan jam 2 siang. Untungnya teman kerja saya tak terlalu paranoid, jadinya saya masih bisa fokus bekerja walau hati bimbang.
Minggu 22 Maret, jam 10 malam lagi-lagi saya flu dan bersin-bersin. Saya tanya via whatsapp ke teman kerja soal fku ini. Sebab di hari kamis ada selentingan dari teman-teman kerja yang menyakatan bahwa bagi yang merasa tidak enak badan sebaiknya memeriksakan diri sebelum bekerja.
Akhirnya saya pergi berobat ke klinik terdekat. Setelah menunggu antrian sekitar 30 menit akhirnya tiba giliran saya. Seperti biasanya, saya ditanyai dokter tentang apa keluhan saya. Saya katakan bahwa saya merasakan tenggorokan gatal dan flu. “Apa ini gejala corona, dok?” tanya saya merasa khawatir. “Enggak juga sih Pak. Belum jelas” jawab dokter Sarah datar.
“Bapak pernah kontak dengan suspek corona gak?” dokter balik bertanya. Saya ceritakan riwayat gejala yang selama ini jadi kekhawatiran sejak Senin 16 Maret lalu. “Wah, Bapak tiap hari naik KRL ya?” tanya dokter lagi. “Iya Bu. Tiap hari desak-desakan dengan banyak orang”.
“Sekarang Bapak saya cek dulu. Rebahan di ranjang ya”. Saya ikuti instruksi dokter dan diperiksa denyut jantung dan kondisi tenggorokan. “Denyut jantung Bapak normal. Tensi darah normal. Tenggorokan sedikit radang.” nadanya santai. “Tapi sepertinya napas Bapak sesak?” lanjutnya curiga. “Iya sih Bu. Tapi sedikit” jawabku kaget karena tak terpikirkan sebelumnya akan ditanya kondisi napas.
“Besok pagi jam 10 Bapak wajib cek darah dan ronsen!” nadanya menegaskan. “Berarti besok saya gak kerja dong Bu?” tanyaku bingung. “Iya. Gak apa-apa. Nanti saya buatkan surat keterangan berobat”.
Saya tak menyangka akan begini kondisinya. Memang sih saya sedikit senang karena tidak jadi kerja, tapi khawatir. Jangan-jangan dugaan saya selama ini benar? Dugaan bahwa saya sudah terpapar corona dari wanita muda berjilbab yang Senin lalu terbaring lemah di pos kesehatan Stasiun Juanda? “Haduh! Bagaimana ini?! Tolong kuatkan mental hamba-Mu ini ya Allaah.”
Langkah saya gamang. Sedikit depresi sambil berusaha menenangkan diri. Hal terburuknya adalah jikapun umur saya habis sampai di sini, saya bingung karena pribadi masih belum baik, anak masih kecil. Siapa nanti yang akan memberinya makan? Bla, bla, bla. Pikiran kacau tak karuan kalau saya terus fokus ke sana.
Jam 10 pagi tak terasa sudah tiba. Rasanya cepat sekali waktu kalau umur sudah hampir habis. Saya datang lagi ke klinik. Antri lagi sekitar 40 menit. “Lengan bajunya diangkat ya Pak!” pinta dokter yang semalam dengan nada sedikit naik. “Disuntik Bu?” tanyaku basa-basi. “Iya Pak. Kan mau diambil darahnya”. Huh! Lagi-lagi diambil darah, tindakan medis yang sangat saya benci harus terulang untuk kesekian kalinya.
Jam 13:00. Saya kembali lagi ke klinik untuk mengambil hasil cek darah dan ronsen paru-paru. Tapi menunggu lagi karena antrian sedang penuh. Satu jam kemudian saya dipanggil ke ruang dokter.
“Bu. Masih dokter yang semalam ya?” tanyaku pura-pura polos. “Bukan.” jawabnya singkat dan sedikit kecut. “Kok suara sama mata Ibu kayak yang semalam?” tanyaku lagi jahil. “Iya. Masih yang semalam”. “Oh… Hebat Bu. Biasanya gonta-ganti”.
“Pak. Kondisi paru-parunya ada flek. Tapi status Bapak ODP.” kata dokter datar. “Hah?! ODP Bu? Kok bisa?” tanyaku kaget. “Soalnya darah Bapak belum dites swab. Mesti nunggu seminggu lagi. Sementara ini Bapak isolasi diri di rumah selama 14 hari.” lanjutnya sedikit rewel. “Bapak gak sendiri. Udah banyak yang statusnya ODP kayak Bapak.” Saya menerima kondisi ini dengan lemas.
Ternyata sesuai dugaan, saya terpapar. Tapi terpapar dari siapa? “O iya. Mungkin dari wanita sakit yang terbaring di ranjang waktu cek kesehatan di Stasiun Juanda. Ah, tapi belum tentu juga. Masih ada kemungkinan negatif. Pikiran mesti tetap positif” begitu saja gejolak batin sambil berjalan arah pulang ke kontrakan.
Baru divonis ODP saja sudah bikin keringat panas dingin. Apalagi kalau benar-benar positif. Saya informasikan kabar ini beserta surat vonis ODP via whatsapp ke manager di kantor dan ke teman yang lokasinya dekat kontrakan. Tak lupa saya beritahu juga ke istri, orang tua dan sanak saudara.
Senin jam 7 malam whatsapp ramai sekali dengan pertanyaan dari teman-teman kerja. Mereka tak menyangka saya bisa divonis ODP. Bahkan parahnya ada yang memnuat isu bahwa saya positif corona. Hampir membuat saya emosi. Tapi saya malas melacak oknumnya.
Selasa pagi saya masih bingung. Kenapa saya bisa mengalami kejadian ini. Kabarnya kantor pusat jadi heboh. Mereka yang di hari Kamis pernah kontak dengan saya jadi ketakutan terpapar. Semua ruangan disemprot disinvektan sapaya steril.
Menyukai ini:
Suka Memuat...